Selasa, 02 November 2010

KITA BUTUH BUNG HATTA



Judul diatas saya ambil dari salah satu status facebook teman lama saya seorang fotografer di sebuah majalah. Bung hatta merupakan salah satu tokoh teladan bagi saya. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mencoba mendoktrin teman-teman semua yang membaca blog saya agar ikut untuk meneladani sosok beliau. Indonesia memiliki banyak sekali tokoh yang dapat dijadikan panutan, namun saya tetap kekeuh memilih Bung Hatta sebagai teladan karena dari banyak bacaan yang saya baca, beliau memenuhi imajinasi saya sebagai seorang tokoh heroik yang merelakan hidupnya untuk ikut merasakan kesulitan yang dirasakan oleh rakyatnya pada saat itu.

Dalam salah satu buku biografinya, ia terkenal sangat dekat dengan kedua sekretarisnya yakni Bung Hutabarat dan Bung Wongso. Putra Bung Hutabarat yang bernama Herry Pen bercerita bahwa ketika bung Hatta tidak lagi menjabat sebagai wakil presiden, beliau bersama-sama dengan ayahnya berbagi penghasilan untuk membuat buku, berjualan perangko dan sebagainya. Kesederhanaan beliau-lah yang membuat sosoknya pantas untuk dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia.

"Bung Hatta adalah seorang pejuang tulen yang sederhana, yang sampai akhir hayatnya tidak dapat membeli sepatu yang diidamkannya. Sebagai pensiunan wakil presiden Bung Hatta juga tak mampu membayar tagihan listrik rumahnya. Kalau sudah begini, rakyat mana yang tak akan menaruh hormat kepadanya?" ujar Rizal Ramli di sebuah acara Renungan Kemerdekaan.

Tak terhitung jasa-jasa bung Hatta bagi bangsa Indonesia, mulai dari memperkenalkan nama “Indonesia” untuk menyebut wilayah Hindia Belanda pada kongres Demokrasi Internasional Untuk Perdamaian di Bierville, Prancis, perjuangan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, hingga berhasil menghasilkan sebuah konsep ekonomi bernama “koperasi".


Berkali-kali ia dibuang ke tempat pengasingan, Namun bagi bung Hatta, Pengasingan dirinya ke Tanah Merah, Boven Digoel (Papua) merupakan pengasingan yang paling berat bagi dirinya. Pada saat itu, kepala pemerintahan disana yakni Kapten Van Langen menawarkan dua pilihan kepada Bung Hatta, yakni bekerja untuk pemerintahan kolonial belanda dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan seadanya, tanpa harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Bung Hatta dengan tegas menjawab “Bila aku berniat bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dulu waktu masih di Batavia, pasti aku telah menjadi orang besar dengan gaji yang jauh lebih besar pula. Maka tak perlulah aku ke Tanah merah untuk menjadi kuli kolonial dengan gaji 40 sen sehari.” Maka dikirimlah Bung Hatta ke tempat pengasingan di Boven Digoel Papua yang penuh dengan ketidakpastian, ketidaktahuan, dan kebosanan. 

Dalam buku biografinya Bung Hatta bercerita “Digul memang bukan Gulak (kepulauan tempat pengasingan di Rusia), tapi bukan kekejaman yang membunuhmu, melainkan kebosanan, kebosanan dan kebosanan…”

Sebuah cerita tentang kesederhanaan beliau yang selalu berbekas dalam benak pikiran saya adalah kisah tentang sepatu Bally yang tidak kesampaian dibeli olehnya hingga beliau meninggal dunia pada tanggal 14 Maret 1980. Berawal pada tahun 1950, ketika Bung Hatta berminat pada sebuah sepatu ber merk Bally. Sepatu tersebut merupakan sebuah sepatu berkualitas tinggi yang harganya sangat mahal saat itu. Saking kepinginnya Bung Hatta dengan sepatu bally tersebut, ia kemudian menggunting sebuah iklan sepatu Bally yang memuat alamat penjualnya lalu menyimpannya. Setelah itu Bung Hatta berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idamannya tersebut.

Namun, selama bertahun-tahun ia menabung, uangnya tak pernah mencukupi karena selalu habis untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau membantu kerabat dan rakyat yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally tersebut tidak pernah terbeli karena tabungan beliau tidak pernah mencukupi untuk memenuhi keinginannya. Bahkan guntingan iklan sepatu Bally tersebut masih tersimpan rapih dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang pahlawan proklamasi.

Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, sangatlah mudah bagi Bung Hatta untuk memenuhi keinginannya memiliki sepatu Bally tersebut. Namun beliau lebih memilih cara menabung dengan hasil keringatnya sendiri daripada meminta sesuatu kepada orang lain dengan memanfaatkan kedudukannya saat itu untuk kepentingan dirinya sendiri. “Bung Hatta memilih jalan sukar yang sangat lama, yang akhirnya ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri", kata Adi Sasono, Ketua Pelaksana Peringatan Satu Abad Bung Hatta. Hhmmm…andaikan saja beliau masih hidup, saya rela menabung untuk membelikan sepatu Bally itu sebagai hadiah ulang tahun untuk beliau.

Saya sangat yakin bahwa Bung Hatta adalah tipe pemimpin rakyat yang bersahaja, berdisiplin dengan tidak berhutang atau bergantung pada orang lain, dan tidak berdiri di atas kebanggaan sebagai seorang penguasa. Namun ia hadir di tengah rakyat, merasakan apa yang rakyat rasakan, menanggung derita sebagaimana yang rakyatnya derita. Satu kata terakhir yang ingin saya ucapkan untuk menutup tulisan ini. KITA BUTUH BUNG HATTA!!

Sumber :
Buku biografi Bung Hatta "Bung Hatta - Pribadinya Dalam Kenangan"
Untuk Banendra Eka Prasetyo, Terima kasih inspirasinya :D

2 komentar:

Asepsandro mengatakan...

lebih tepatnya kita membutuhkan soekarno dan hatta

Dheeto mengatakan...

Iya mas, tapi sekarang ini untuk mencari satu orang yg seperti mereka saja sangat sulit, apalagi mencari dua..haha, terima kasih comment-nya mas.