Senin, 03 Januari 2011

JUTAAN RUPIAH DI BALIK BISNIS PARKIR LIAR


Uang yang didapat dari bisnis perparkiran terus berputar bagaikan angin, ada tapi tidak terlihat. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat berbanding lurus dengan ketebalan dompet para penguasa jasa perparkiran. Siapa yang menyangka bila dalam bisnis perparkiran berputar uang ratusan juta rupiah tiap bulannya yang luput dari perhatian pemerintah?

Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta yang semakin bertambah setiap harinya membuat pemerintah kewalahan untuk menyediakan lahan parkir. Alhasil, sedikit demi sedikit muncul beberapa parkir liar yang memakai badan jalan. Keberadaan parkir liar tersebut di satu sisi membantu pemerintah kota terkait minimnya ketersediaan lahan parkir. Namun di sisi lain, parkir-parkir liar yang memakai badan jalan justru menjadi “biang keladi” kemacetan di ibukota Jakarta. Bisnis parkir liar pun menjadi lahan yang menggiurkan karena perputaran uang di bisnis ini bisa mencapai jutaan rupiah setiap harinya.



Suatu pagi, kami menyambangi sebuah lahan parkir yang berada sekitar 100 meter dari Gedung Cyber di kawan Mampang, Jakarta Selatan. Sebuah lahan tanah seluas 400 meter persegi dijadikan lahan parkir sejak tahun 2004, setiap harinya tempat tersebut dipenuhi oleh ratusan sepeda motor, dan puluhan mobil yang berderet rapih, Mereka sebagian besar adalah para karyawan yang bekerja di gedung Cyber. Karena lokasi parkir yang disediakan oleh pihak gedung sudah tidak mencukupi, mereka lebih memilih memarkir kendaraan di lahan parkir yang dikelola oleh Agus Setiawan, 42 tahun.

Awalnya tanah ini merupakan tanah wakaf dari sebuah Yayasan Ar-Rauda yang diberikan untuk dikelola oleh Dewan Kelurahan Mampang (DKM). Oleh DKM, Tanah wakaf tersebut disewakan untuk dijadikan kantin dimana uang hasil sewanya sebagian disetorkan kepada Yayasan Ar-Rauda. Namun setelah sekian tahun berjalan uang hasil penyewaan kantin tersebut ternyata tidak pernah sampai ke tangan yayasan. Tak lama setelah itu, Ketua DKM yang yang mengelola tanah wakaf tersebut meninggal dunia. Kesempatan ini, dimanfaatkan oleh Agus Setiawan dengan meminta izin kepada Yayasan Ar-Rauda untuk mengelola lahan tersebut menjadi tempat parkir. Pada tahun 2004 setelah berhasil mengosongkan lahan tersebut, ia membangun tempat parkir dengan mempekerjakan empat orang anak buahnya sebagai penjaga parkir di lokasi itu. Kiki, 23 tahun, salah seorang anak buah Agus yang bertugas menjaga parkir tersebut menjelaskan bahwa setiap harinya terdapat sekitar 200 sampai 300 motor yang parkir di tempatnya dengan tarif seribu rupiah sekali parkir.

“Kalo mobil yang langganan bisa 100-an, yang keluar masuk kira-kira ga nyampe segitulah” ujar Kiki.

Tarif parkir untuk mobil karyawan yang bekerja di Gedung cyber sebesar tujuh ribu rupiah selama jam kantor. Untuk mobil yang parkir sebentar dikenakan tarif dua ribu rupiah sekali parkir. Jika dihitung total, uang yang didapat dari bisnis perparkiran di tempat tersebut mencapai satu juta rupiah per hari. Bila dikalikan dengan 26 hari kerja dalam sebulan, berarti lahan parkir tersebut mampu menghasilkan uang kurang lebih 26 juta rupiah setiap bulannya. Terlebih, tempat parkir ini buka 24 jam, sehingga dapat dipastikan pendapatannya bisa melebihi hitungan kasar tadi.



Agus Setiawan sebagai pengelola lahan parkir tersebut mengatakan bahwa setiap bulannya ia menerima pendapatan kotor sebesar 18-21 juta rupiah. Namun, Pendapatan kotor tersebut belum dikurangi pengeluaran untuk gaji dan uang makan empat orang karyawannya sebesar 5,6 juta setiap bulannya. Selain itu, Agus juga harus menyetor pada pihak yayasan sebesar 1,5 juta rupiah tiap minggunya, yang berarti sekitar 6 juta rupiah per bulan. Belum lagi adanya pungutan liar (pungli) oleh oknum polisi.

“Biasanya sih Polisi kesini tiap seminggu sekali minta jatah. Tapi mereka gak nyebut angka, jadi pengertian kita aja, paling 50 ribu lah sama rokok sebungkus-sebungkus.” Timpal Agus.

Dari penghitungan tersebut, Agus setiap bulannya bisa menerima pendapatan mencapai 6 sampai 7 juta rupiah. Dengan penghasilan setiap bulan yang cukup besar tersebut, ia dapat mencukupi kebutuhan istri dan 6 orang anaknya. Bahkan sisanya mampu untuk dibelikan sepeda motor dan beberapa barang elektronik.




Cerita lain lagi berasal dari bisnis parkir di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Ketika kami menyambangi pasar yang terletak di tengah-tengah lingkungan perumahan dan perkantoran tersebut, terlihat cukup banyak motor dan mobil yang secara bergantian keluar masuk lokasi parkir di kawasan tersebut. Kurang lebih terdapat empat pintu dengan lokasi parkir yang berbeda di dalam pasar tersebut. Setidaknya terdapat puluhan motor dan mobil yang terparkir disana. Setelah satu jam memantau tempat tersebut, kami mendekati salah seorang juru parkir yang sedang duduk di tangga masuk pasar. Tri, begitu ia biasa dipanggil, pemuda berusia 20 tahun yang sudah bekerja sebagai juru parkir di Pasar Santa selama empat tahun. Penghasilannya didapat dari sisa uang setoran yang harus di bayarkan setiap harinya kepada pihak pengelola pasar. Besarnya setoran berbeda-beda di setiap pintu. Tri sendiri bertugas menjaga parkir di pintu tiga.

“Kalo pintu 1 tuh 300 ribu, pintu 2 tuh 200 ribu, pintu 3 tuh 150 ribu tempat saya nih. Trus kalo pintu empat yang di belakang itu 200 ribu juga. Itu udah itungan dari pagi sampe siang.” Jelas Tri.

Perbedaan jumlah setoran tersebut terjadi karena pihak pasar telah men-survey jumlah motor yang parkir dari tiap-tiap pintu, sehingga jumlah setoran telah disesuaikan dengan jumlah motor yang parkir. Pendapatan Tri setiap harinya tidak menentu, bila pengunjung pasar sedang ramai, maka ia bisa mendapat uang hingga 70 ribu dalam sehari. Namun lain halnya, bila pengunjung pasar sepi, terutama pada hari sabtu dan minggu, ia bahkan sering ‘nombok’ bila uang yang didapat kurang dari jumlah yang harus disetorkan.

“Kalo jaga dari siang sampe sore mah 50ribu aja bisa dapet buat saya nya, itu kalo lagi enak tuh. Kalo lagi empot-empotan apalagi klo lagi hujan tuh malah kadang nggak ada yang parkir, trus sampe nggak kekejar setorannya. Lebihan nggak dapet setoran malah kurang. Kalo udah gitu kita cicil besoknya untuk setoran yang kurang itu. Orang pasar juga nggak mau tau mas, jadi klo udah ditetepin setoran 150rb ya harus 150rb nggak peduli emang lagi sepi apa kagak. Jadi ya usahain harus ada, tapi ya kita bisa cicil itu di besok harinya.” Cerita Tri.

Setelah bercerita panjang lebar, Tri memberitahu bahwa orang yang bertugas untuk mengumpulkan uang setoran dari juru parkir di tiap pintu bernama Pak Gepeng. Kemudian kami pun masuk ke dalam pasar untuk mencari Pak Gepeng. Setelah setengah jam berselang, kami pun berhasil menemui bapak berusia 52 tahun tersebut. Ia mengajak kami ke sebuah warung yang terletak di samping pasar. Kemudian ia bercerita bahwa telah 28 tahun bekerja sebagai juru parkir di Pasar Santa. Oleh sebab itu, ia ditunjuk oleh pengelola pasar jaya (baca : Pasar Santa) untuk mengumpulkan setoran-setoran di tiap pintu untuk kemudian diserahkan kepada pengelola pasar jaya. Ketika saya bertanya berapa jumlah uang yang disetorkan kepada pengelola pasar, ia menjawab sekitar 500 ribu rupiah.

“Disini kan semua udah dihitung sesuai survey dari pasar jaya, jadi ya udah di sesuaikan dengan UMR gitu lah. Yah paling sehari 50 ribu kotor itu mas.” Kilah Pak Gepeng.

Kemudian kami juga menemukan satu pintu lagi diluar empat pintu yang telah disebutkan tadi. Kepada juru parkirnya, yakni Ocha dan Rosidi, ia mengaku bahwa setiap harinya harus menyetor kepada pihak pengelola sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Sehingga bila di total secara keseluruhan, pendapatan kotor yang didapat dari bisnis parkir di Pasar Santa bisa mencapai satu juta delapan puluh lima ribu rupiah setiap harinya. Bila dikalikan dengan tiga puluh hari kerja, maka pendapatan dari lahan parkir tersebut mencapai sekitar 30 jutaan setiap bulannya. Namun dengan pengawasan yang kurang tertata rapi, banyak terjadi manipulasi yang dilakukan oleh beberapa oknum untuk memperoleh keuntungan.



Pemerintah seharusnya dapat lebih memberi perhatian terhadap bisnis perparkiran. Bila dikelola dengan baik, pendapatan dari jasa parkir dapat memberi pemasukan yang cukup besar terhadap kas pemerintah. Bayangkan saja bila setiap lahan parkir liar di Jakarta mendapatkan penghasilan rata-rata 10 juta perbulannya, padahal terdapat ratusan parkir liar yang terdapat di kota ini. Pihak Pemerintah Kota Bekasi melalui Cirenia Sri Sutrisni mengatakan bahwa jasa perparkiran baik yang resmi maupun tidak resmi tetap akan dikenakan pajak retribusi oleh Pemerintah, besarnya disesuaikan dengan pendapatan yang mereka dapat dari jasa perparkiran yang dikelola. Namun bisa dikatakan, saat ini bisnis perparkiran tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Karena pada kenyataannya, orang-orang yang berada dalam bisnis ini setiap bulannya bisa memiliki pendapatan yang besarnya bahkan melebihi gaji pegawai kantoran di kota-kota besar.

2 komentar:

Andy mengatakan...

Bukan jutaan lagi menurut saya tapi ratusan juta,karena sampai ada yang bunuh2an karena memperebutkan lahan parkir di wilayah yang ramai
Mampir gantian ya ke blog saya

Dheeto mengatakan...

Mungkin cuma di Indonesia khususnya Jakarta yang Jalan raya-nya multifungsi mas, buat kendaraan bermotor, buat pejalan kaki, buat busway, buat parkir liar, buat pedagang kaki lima, buat warung makan dan masih banyak lagi buat-buat yang lainnya..hehe,